Bagaimana kehidupan muslim di minoritas? Kalau menurut aku di Jepang sini nyaman nyaman aja, ga ada rasisme, bullying dan sebagainya. Mungkin ada beberapa yang sentimen dengan Islam, tapi kita harus memaklumi, karena mereka hanya kenal Islam dari media massa saja bukan dari sumber asli dan terpercaya.
Yang aku tekankan disini bukan tentang bagaimana sikap lingkungan terhadap kita muslim yang minoritas, akan tetapi bagaimana sikap kita yang berada di lingkungan yang jauh berbeda dari sebelumnya? Tidak adanya adzan, suara mengaji dari speaker surau, bahkan tidak ada orang islam yang lain di lingkungan atau di daerahnya. Bagaimana kabar iman kita? Bagaimana kabar shalat kita? Ibadah kita? Makanan yang tayyib dan halal kita? Pergaulan kita? Dan semacamnya yang seharusnya ditanyakan kediri kita sendiri.
Dengan menjadi minoritas, kita menjadi belajar kenapa kita harus shalat. Kenapa kita harus makan makanan yang halal dan tayyib/baik. Kenapa harus puasa Ramadhan, sedangkan semua orang yang lain makan. Intinya kenapa kita harus berpegang teguh dengan ajaran Islam dengan pedoman Al Quran dan Sunnah Nabi. Memang benar apa yang disampaikan dalam Hadits, rasanya menjadi terasing atau minoritas itu bagaikan menggenggam bara api. Tidak mungkin menggenggam bara api kecuali dengan kesabaran yang besar dan menanggung kesusahan yang tidak mudah.
Memang sudah seharusnya kita belajar agama Islam ini lebih dalam lagi. Bukan hanya dalam tataran praktik, akan tetapi pada intinya tentang mengapa dan maknanya, Tauhid mengEsakan Allah SWT. Yang masih susah bangun pagi shalat shubuh, denger adzan tetap lanjut main futsal, masih susah beranjak ke masjid padahal cuma jarak 10 langkah dari rumah, yuk kita sama2 memperbaiki kualitas ibadah dan shalat kita. Karena dalam Al Quran disebutkan, tidaklah Allah SWT menciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepadaNya.
Semoga hal ini bisa menjadi refleksi bersama keimanan dan keislaman kita.
*nb: photo saat mukhayyam di Tokyo
0 comments:
Posting Komentar